Kamis, 31 Juli 2008

MEMPERKUAT OTONOMI DESA DENGAN ALOKASI DANA DESA

Pembahasan tentang perimbangan keuangan desa, pada dasarnya mempersoalkan kebutuhan keuangan untuk membiayai urusan yang diserahkan kapada desa. Termasuk dalam uraian ini adalah sumber-sumber keuangan itu dari mana, alokasinya untuk apa, pengelolaannya seperti apa serta kontrol maupun pertanggungjawabannya bagaimana. Dalam konteks perimbangan keuangan tersebut, tujuan transfer keuangan yang ingin dicapai adalah mengurangi kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang terjadi antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal serta mengurangi kesenjangan antar desa, baik dalam konteks pemenuhan fasilitas pelayanan publik maupun penyediaan infrastruktur yang mendorong peningkatan pendapatan perkapita masyarakat desa. Tujuan transfer keuangan ini akan cepat terealisir, jika keleluasaan (discretion) diberikan kepada desa. Keleluasaan desa bisa terwujud apabila kemampuan keuangan desa yang dimiliki kuat, dan dalam realitasnya harus ditopang oleh pemerintahan di atasnya (Pemerintah Kabupaten/Kota). Bentuk penguatan pemerintah kabupaten terhadap kemampuan keuangan desa adalah melalui transfer keuangan ke desa.

Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa dan untuk peningkatan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, desa mempunyai sumber pendapatan yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah diberikan kepada desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diluar upah pungut, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota diberikan kepada desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), sedangkan bantuan Pemerintah Provinsi kepada desa diberikan sesuai dengan kemampuan dan perkembangan keuangan provinsi bersangkutan. Bantuan tersebut lebih diarahkan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar desa, pengelolaan kawasan wisata skala desa, pengeloaan galian C dengan tidak menggunakan alat berat dan sumber lainnya. Sekali lagi bahwa desa membutuhkan resources (sumber daya) yang cukup untuk memberdayakan diri dan komunitasnya serta dukungan dari pemerintah melalui instrumen kebijakan yang efektif dan fungsional. Dan, salah satu reources yang dibutuhkan adalah kecukupan pembiayaan/keuangan pemerintahan dan pembangunan desa melalui skema perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa.

Sejauh ini desa tidak memiliki sumber pendapatan yang memadai untuk mendukung penyelenggaraan tugas pemerintahan dan kewenangannya. Menurut Sadu Wasistiono (2006:107) Pemerintahan desa hingga saat ini lebih tepat juga disebut dengan pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization) didasari atas tiga alasan : Pertama Tidak memiliki kewenangan menarik pajak/retribusi atas haknya sendiri. Kedua, Aparat (perangkat desa) bukan pegawai negeri. Ketiga Aparat (perangkat desa) tidak digaji oleh negara layaknya pegawai negeri.

Ada beberapa mekanisme lain yang diatur dalam PP 72 tahun 2005 dan penting untuk diketahui bahwa : pertama, Sumber pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa kedua, Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

Kenyataannya lebih banyak pajak maupun retribusi ditarik oleh daerah daripada desa. Dengan demikian perimbangan keuangan kepada desa adalah suatu hal yang perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah supra desa, mengingat desa memiliki otonomi sehingga sangat lucu seandainya diberik kewenangan tetapi tidak diberi uang.

Perimbangan keuangan kabupaten kepada desa merupakan kelanjutan dari proses desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat kepada Daerah Kabupaten/Kota. Namun sayang perimbangan keuangan dari kabupaten/kota kepada desa tidak semulus dan sejelas perimbangan keuangan dari pusat ke daerah. Jika Dana Bagi Hasil, DAU dan DAK mendapat perhatian yang serius bagi pusat karena posisi politik daerah terhadap pusat dibayang-banyangi oleh disintegrasi, maka Dana Perimbangan Desa lebih banyak tergantung niat baik dari pemerintah kabupaten/kota, karena posisi desa terhadap Kabupaten /Kota sangat lemah.

Apabila ditinjau dari aspek kebijakan, desa pada dasarnya memiliki hak untuk memperoleh bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota. Pada saat sekarang, dari skema anggaran yang dikembangkan ditingkat kabupaten (APBD) secara umum masih belum terlihat adanya realisasi konkrit dari dari pembagian tersebut.

Dana perimbangan desa dari setiap desa yang saat ini dikenal dengan Alokasi Dana Desa (ADD) ditetapkan dengan mempertimbangkan porsi dari desa yang bersangkutan. Jadi dana perimbangan desa tidaklah ditetapkan melalui pembagian sama rata. Melainkan bagian desa dihitung berdasarkan porsi desa tersebut. Apa yang dimaksud dengan porsi desa tidak lain dengan perhitungan empiris yang saksama antara kebutuhan dan potensi desa. Kebutuhan desa diperhitungkan dengan variable jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis, dan potensi alam, tingkat pendapatan masyarakat serta jumlah mereka yang berada dibawah garis kemiskinan. Potensi desa adalah gambaran mengenai peluang penerimaan desa, baik dari sector pertanian maupun yang lainnya. Perhitungan sendiri diharapkan merupakan perhitungan yang melibatkan bahkan dilakukan sendiri oleh masyarakat dan memenuhi prinsip keadilan dan pemerataan.

Dalam rangka menjamin pemeratan dan keadilan maka dalam perhitungan ADD menggunakan Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM) yang sama untuk semua desa dan Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP) untuk setiap desa berdasarkan nilai bobot desa yang dihitung dengan rumus dan variable tertentu. Dengan demikian dapat dipastikan ada perbedaan antara satu desa dengan desa yang karena terjadi perbedaan dalam presentase masing-masing variabel yang mencerminkan perbedaan kebutuhan dan potensi antara satu desa dengan desa yang lain.

Variabel tersebut dalam Surat Menteri Dalam Negeri Tanggal 22 Maret 2005 Nomor 140/640/SJ perihal Pedomal Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa dibedakan antara variabel independen utama dan variabel independen tambahan.

Variabel independen utama adalah variabel yang dinilai terpenting untuk menentukan nilai bobot desa. Variabel independen utama ditujukan untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan dasar umum antar desa secara bertahap dan mengatasi kemiskinan struktural masyarakat di desa sedangkan variabel independen tambahan merupakan variabel yang dapat ditambahkan oleh masing-masing daerah sesuai dengan kondisi daerah.

Untuk menjamin bahwa dana dimanfaatkan dengan baik, maka sebelum kebijakan ADD dilaksanakan pemerintah daerah dengan para pelaku terkait, perlu menyiapkan pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan di desa dalam mengelola, memanfaatkan dan mengembangkan hasil-hasil ADD. Hal ini sangat penting untuk menjamin bahwa ADD yang demikian besar dapat dikelola dengan prinsip-prinsip pengelolaan anggaran yang baik dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.

Akhirnya, kebijakan ADD merupakan salah satu instrumen yang penting untuk mendukung otonomi desa, tetapi harus juga diperhitungkan pelimpahan urusan kepada desa, karena prinsip dasar Manajemen Berbasis kinerja adalah Money follow fungtion (uang mengikuti fungsi), artinya penyerahan keuangan dilakukan setelah jelas kegiatan apa saja yang harus dibiayai sehingga tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan keuangan, jangan sampai sudah ada kegiatan yang dibiayai oleh kabupaten/kota dibiayai juga oleh desa. Selain itu juga kebijakan ADD menyebabkan dana yang beralih dari kabupaten/kota ke desa sangat besar jumlahnya sehingga mempengaruhi kondisi APBD, hal ini perlu diantisipasi dengan memperhitungkan pos-pos lain yang bisa dilakukan efisiensi, dan desa sebagai penerima dana mengalami peningkatan kapasitas keuangan sehingga perlu adanya pendampingan dari kabupaten/kota sehingga tidak terjadi salah urus yang berujung pada tindak pidana korupsi.